AI Bakal Jadi Penyedot Listrik Terbesar, Lebih Parah dari Tambang Bitcoin!

Penyedot Listrik Terbesar

Penyedot Listrik Terbesar – Teknologi kecerdasan buatan (AI) selama ini dikenal sebagai solusi masa depan yang cerdas dan efisien. Namun, riset terbaru justru mengungkap sisi gelapnya yang jarang di bicarakan: AI bakal mengonsumsi listrik lebih boros daripada tambang Bitcoin yang selama ini di anggap paling rakus energi di dunia digital.

Daya Listrik AI vs Bitcoin: Siapa yang Lebih Rakus?

Tambang Bitcoin sudah terkenal sebagai monster penghisap listrik, dengan data center raksasa yang beroperasi 24 jam nonstop untuk memecahkan algoritma rumit demi mendapatkan kripto. Tapi, jangan salah! Dengan perkembangan AI yang makin masif—dari pemrosesan bahasa alami, pengenalan wajah, hingga pelatihan model-model besar—kebutuhan listriknya melesat tajam.

Model AI besar seperti GPT dan sejenisnya membutuhkan daya komputasi super besar dan berkelanjutan. Proses pelatihan AI yang melibatkan ribuan GPU atau TPU bisa memakan energi ratusan kali lipat dari satu rig tambang Bitcoin. Belum lagi, saat AI di gunakan dalam berbagai sektor seperti otomasi industri, kendaraan otonom, hingga layanan digital, konsumsi listriknya otomatis membengkak.

Mengintip Data di Balik Layar

Riset yang di rilis beberapa bulan terakhir menunjukkan bahwa satu pusat data AI bisa menghabiskan listrik setara dengan puluhan hingga ratusan rumah tangga. Jika tren ini terus berlanjut, AI akan jadi beban besar bagi infrastruktur energi global. Ini bukan sekadar soal pengembangan teknologi canggih, tapi juga dampak ekologis yang tak kalah mengkhawatirkan.

Bayangkan saja, pusat data AI besar memerlukan pendinginan intensif supaya ribuan chip canggihnya tetap stabil beroperasi slot server kamboja. Proses pendinginan ini sendiri menambah konsumsi energi secara signifikan. Jadi, bukan cuma proses komputasi, tapi juga sistem pendukungnya yang menyedot listrik dalam jumlah besar.

Dampak Sosial dan Lingkungan yang Mengkhawatirkan

Selain soal tagihan listrik yang meroket, konsumsi energi AI yang tinggi juga berkontribusi pada peningkatan emisi karbon, jika sumber energi yang di pakai masih bergantung pada bahan bakar fosil. Ini jelas bertolak belakang dengan upaya global menekan jejak karbon demi melawan perubahan iklim.

Selain itu, borosnya penggunaan energi AI juga bisa menimbulkan ketimpangan sosial. Negara-negara maju yang memiliki akses ke teknologi dan sumber energi besar akan semakin dominan, sementara negara berkembang berpotensi makin tertinggal akibat biaya listrik yang membengkak.

Haruskah Kita Mulai Khawatir?

Sementara banyak pihak gegap gempita dengan kecanggihan AI, riset ini memaksa kita merenung lebih dalam: apakah kemajuan teknologi layak di bayar dengan kerusakan lingkungan dan pemborosan energi sebesar ini? Jika tidak ada langkah konkret untuk mengembangkan AI yang hemat energi, bukan tidak mungkin suatu hari nanti AI akan jadi beban besar yang justru memperburuk krisis energi dan iklim.

Teknologi memang harus maju, tapi bukan dengan mengorbankan bumi dan masa depan manusia. Jadi, sudah saatnya kita bertanya: siapa yang bertanggung jawab mengendalikan “monster” AI ini sebelum konsumsi listriknya menembus batas yang tak terkendali?